Michelle Chan |
Pelanggaran lalu lintas merupakan pelanggaran yang tidak pernah ada
habisnya di Indonesia, khususnya pelanggaran bagi pengguna sepeda motor.
Pelanggaran tersebut beragam, dari pelanggaran kesiapan berkendara yaitu tidak
menggunakan helm yang menduduki peringkat kedua dalam 10 pelanggaran lalu
lintas terbanyak hingga kelengkapan atribut kendaraan bermotor yaitu kaca spion
yang tentunya memiliki fungsi yang sangat penting dalam penggunaan sepeda
motor. Selain pelanggaran tersebut, tren masa kini juga mempengaruhi berbagai
macam tampilan-tampilan sepeda motor yang dimodifikasi, modifikasi yang tidak
sesuai dengan ketentuan keselamatan dan keamanan bisa saja mengancam nyawa bagi
si pengendara.
“Kami polisi Indonesia, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan
dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.” Ikrar tersebut merupakan salah satu
ikrar polisi lalu lintas Tri Brata, akan tetapi ikrar hanyalah sebuah kalimat
belaka jika hanya dibaca pada saat pelantikan tanpa adanya aksi nyata di
lapangan setelah pelantikan dilaksanakan. Lalu sebenarnya apa tugas dari
seorang polisi lalu lintas yang biasa dikenal dengan polantas? Sesuai dengan
misi kode etik profesi dari polantas, polantas memiliki misi untuk mewujudkan
masyarakat pemakai jalan yang memahami dan yakin kepada polantas sebagai
pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Polantas tentunya juga
berkewajiban untuk menegakkan hukum-hukum lalu lintas tanpa memandang status
seseorang. Jika tugas seorang polantas telah diatur dan dirancang dengan
sedemikian rupa, dilengkapi pula dengan ikrar-ikrar polantas serta
Undang-Undang yang dilengkapi dengan sanksi-sanksi yang sesuai dengan
pelanggarannya, lantas mengapa masih banyak di dapati pelanggaran lalu lintas
khususnya oleh pengguna sepeda motor yang mendominasi 60% versi
nasional.sindonews.com.
Ada semut pasti karena ada gula, ada sebab maka ada akibat, pelanggaran
yang terus menerus terjadi pasti memiliki faktor-faktor x dibelakangnya. Hal
yang paling simpel dan mudah ditemukan dapat dilihat dari razia-razia tertib
lalu lintas. Razia lalu lintas tetap dijalankan, akan tetapi ketentuan dan
aturan belum tentu berjalan, inilah yang menyebabkan masih banyaknya
pelanggar-pelanggar penggunaan sepeda motor yang masih berkeliaran dengan bebas
dijalan. Sepertinya penilangan hanya dijadikan topeng dan formalitas pada waktu
awal saja, maka dari itu para pelanggar tidak memiliki rasa jera walau sudah
berkali-kali ditilang oleh polisi. Lalu tindak lanjutnya apa jikalau penilangan
hanya topeng saja? Jawabannya tentu sudah tak asing didengar di Indonesia,
yaitu “suap menyuap” dan “uang damai”.
“Damai aja deh ya pak…” kalimat yang kerap kali diucapkan para pelanggar
ini berkesan sangat menggampangi atas kesalahan apa yang telah dibuat. Polantas
memiliki peran penentu dalam situasi ini. Di satu sisi, polantas yang tegas
akan menerangkan kesalahan apa yang telah dilakukan oleh pelanggar lalu
memperjelas sanksi apa yang harus ditanggung oleh si pelanggar tanpa
melebih-lebihkan keadaan tersebut. Di sisi lainnya, polisi yang tak tegas dan
hanya sekedar mengucap ikrar saja tentunya akan membelit-belitkan kesalahan
yang telah di lakukan si pelanggar dan melebih-lebihkan sanksi yang akan
ditanggung oleh si pelanggar dan memberikan gambaran yang salah bagaimana jika
seseorang yang melanggar mendapat tindakan penilangan yang tentunya akan
memunculkan anggapan bahwa mengurus tilang sangatlah sulit dan supaya si
pelanggar memberi uang untuk polisi tersebut dengan harapan agar si pelanggar
dapat segera bebas dari pelanggaran tersebut tanpa mengikuti prosedur hukum.
Dalam situasi ini, ketegasan polantas seketika hilang bak ditelan bumi. Dengan
mudahnya para polisi menerima uang suapan dari para pelanggar. Dalam situasi ini
pula, oknum polisi tersebut sudah mengingkari visi, misi bahkan ikrar yang
mereka bacakan sendiri. Ketegasan dari para polantas sangat dibutuhkan. Dalam
menjalankan tugasnya, seorang polantas harus membuang jauh keegoisan yang ada
pada dirinya.
Kasus-kasus para oknum polisi yang hanya mengumbar ikrar saja harusnya
dapat dijadikan pelajaran bagi polantas lainnya. Salah satu contoh kasusnya
berada di Tebet, Jakarta Selatan, dimana si pengendara mobil meminta bantuan
agar polantas tersebut tidak menilang dengan cara menyuap, uang sudah diterima
oleh polantas tersebut, akan tetapi karena sadar ia direkam, si polisi meminta
kembali surat-surat kelengakapan berkendara si pengemudi. Dapat dilihat dari
kasus tersebut, dimanakah kita dapat menemukan ketegasan dari seorang polantas?
Para polantas seharusnya dapat menjelaskan dengan baik pelanggaran dan
sanksi apa yang telah dilakukan oleh para pelanggar. Sosialisasi juga sangat
dibutuhkan sebagai pendukung bagi para pelanggar untuk berwawasan luas tentang
tilang menilang. Misalnya perbedaan slip biru dan slip merah yang dilansir dari www.polri.go.id, Slip biru berarti pelanggar menerima kesalahan lalu membayar denda di
Bank BRI dan selanjutnya pelanggar hanya tinggal mengambil dokumen yang ditahan
di polsek tempat kejadian. Sedangkan slip merah berarti pelanggar menolak
kesalahan dan meminta sidang di pengadilan dan pengadilanlah yang akan
memutuskan apakah si pelanggar bersalah atau tidak. Jadi alangkah baiknya jika
para pelanggar tidak memberikan uangnya untuk menyuap para oknum yang tidak
bertanggung jawab. Akan lebih baik jika digunakan untuk membayar denda yang
sesuai dan sudah jelas masuk ke kas negara (Michelle Chan/Eskul Jurnalistik)
0 komentar:
Posting Komentar