P
|
ernahkah kalian mereka-reka, apakah ada
tempat yang lebih indah dibanding Jakarta?. Adakah tempat yang lebih tenang?.
Adakah tempat yang lebih ramah dan bebas tekanan dibanding wilayah pusat yang
padat ini?; Atau apakah kalian terlalu disibukan dengan kehidupan Ibu Kota dan
tidak sempat mengintip desa-desa kecil yang tersebar di negri ini?.
Felicia dan Fransiska Nindya |
Mungkin jawabannya adalah ya, sama seperti saya. Hidup di Jakarta sejak lahir
membuat saya tidak pernah tahu tentang kehidupan desa yang sederhana. Tentang
mereka yang selalu bertegur sapa di jalanan setapak menuju ladang. Tentang
kehangatan warga kaki Gunung Merbabu. Namanya adalah Ngablak. Sebuah dusun yang
terletak di Desa Sowanan Kota Magelang Jawa Tengah ini adalah tempat kami
menghabiskan waktu dalam kegiatan Live In. Bagi yang belum tahu, Live In adalah
kegiatan menetap di pemukiman warga suatu tempat selama beberapa hari dan
diiringi dengan mengikuti aktivitas warga setempat. Biasanya tempat yang
dipilih untuk Live In adalah desa
atau tempat terpencil dengan budaya yang sederhana dan tradisional. Kegiatan
ini merupakan kegiatan rutin tahunan bagi angkatan kelas 11 sekolah kami dan
tahun ini adalah giliran kami.
Mayoritas warga
Ngablak memiliki mata pencaharian sebagai petani, begitu juga dengan Pak Mugi,
orang tua asuh saya. Pak Mugi memiliki ladang kubis, wortel dan tembakau yang
masing-masing luasnya ±100m2 dan beliau cangkul sendiri. Hebat
bukan? Sementara Ibu bertugas dalam merawat dan membersihkan ladang. Memiliki
ayah asuh seorang petani tentu saja membuat saya sempat menapak di atas
basahnya tanah ladang dan berkenalan langsung dengan serangga-serangga unik
yang selama ini saya kira hanya ada di buku sains.
“Nda kenal sama yang
tadi dek?”
Tanya Ibu pada saat
kami berjalan menuju ladang dan berpapasan dengan dua orang teman dari kelas
sebelah yang sejujurnya kurang dekat dengan kami, saya dan teman serumah yang
bernama Helga di sekolah. Kami hanya bisa tersenyum canggung sambil mengangguk.
Itulah orang kota, nggak deket nggak nyapa. Kalau menyapa akan terkesan aneh
atau dibilang sok dekat. Bukan begitu?, Berbeda dengan orang desa yang selalu
menyapa satu sama lain dengan senyuman hangat mereka, berbincang dengan aksen
Jawa mereka yang kental dan menganggukan kepala saat hendak berlalu.
Rintikan
hujan turun saat kami bertiga tengah asyik mencabuti rumput liar yang tumbuh di
balik dedaunan kubis. Ibupun menyuruh kami untuk pulang duluan. Namun kami
memutuskan untuk berteduh sebentar karna hujan yang semakin kencang. Disanalah
kami berteduh, di sebuah gubuk kecil tempat penyimpanan pupuk kotoran ayam
milik sepasang suami istri petani. Mereka menerima kami dengan sangat, bahkan
mereka sempat menawari kami bekal makan siang yang mereka bawa dari rumah. Kami
berbincang banyak dengan Bapak dan Ibu itu. Saya turut menceritakan pengalaman
saya sebelum ke ladang saat saya pergi ke warung untuk membeli air mineral.
Saya terkesan dengan rasa saling percaya yang dimilikiwarga sekitar. Warung
tersebut terletak di pinggir jalan, namun menurut pengakuan si pemilik yang
saya tanyai, ia tidak pernah mengalami kehilangan barang sekalipun warung
tersebut sering ia tinggal. Bapak dan Ibu pemilik gubuk hanya tertawa saat
mendengar cerita saya. Mereka berkata hal itu adalah hal yang biasa. Bahkan
saat berpergian jauh, hanya dengan menitipkan rumah kepada tetangga sebelah,
rumah akan aman sampai saat kepulangan sang pemilik. Begitu juga dengan setiap
ladang yang mereka miliki, apabila ada yang kehabisan bahan makanan maka ladang
tetangga tersedia untuk tetap membuat asap dapur mengepul. Mereka hanya perlu
mengambil apa yang mereka perlu, layaknya mereka mengambil makanan di ladang
sendiri.
Saya benar-benar
terkesan. Bagaimana tidak? Yang selama ini saya lihat adalah keegoisan
orang-orang kota yang kurang berbagi, kasus kriminalitas yang tidak pernah
berhenti serta pagar-pagar besi yang melambangkan keamanan dan rasa saling
percaya yang orang kota tidak miliki. Bergaul dengan mereka membuat saya sadar
bahwa ternyata masih ada orang baik. Saya juga sadar bahwa seharusnya kita
belajar dari mereka, wong ndeso yang selama ini kita pandang sebelah mata.
Harusnya kita yang merasa malu, penghuni kota namanya tapi moral telah hilang
entah kemana.
Lewat artikel ini,
yang saya ingin sampaikan adalah: Marilah kita belajar untuk lebih berbagi dan
peduli. Tidak ada yang salah dengan tetap berbuat baik walaupun tekanan dan
rintangan kehidupan kota mengancam kita untuk menyimpang. Terimakasih
Ngablak, saya sudah belajar banyak.
0 komentar:
Posting Komentar