Kami
menaiki metromini P 02 ke arah destinasi pertama yang akan ditujuh. Di dalam metromini, kami
berdesak-desakan dengan 2 kelompok yang satu destinasi dengan kami juga para
penumpang lain. Saat akan mengambil gambar untuk tugas Vlog kami, ada seorang
ibu-ibu yang kebetulan duduk di belakang
saya memperingatkan untuk berhati-hati akan pencopet. Saya belajar sesuatu dari
hal ini, bahwa penjustifikasian saya akan orang Jakarta yang sangat
individualistik dan mementingkan diri sendiri ternyata tidak sepenuhnya benar.
Ternyata masih ada orang yang peduli dengan orang-orang yang berada didekatnya.
Sesampainya
kami di Sunda Kelapa, Saya melihat betapa gersangnya daerah itu, semua sudah
dibeton dan hanya terdapat kapal-kapal kayu dengan debu bertebangan
dimana-mana. Awalnya kami tidak diperbolehkan masuk ke wilayah yang lebih jauh
lagi dikarenakan belum izin dan hari itu merupakan hari kerja. Setelah Pak Iwan,
pembina kelompok sebelah yang bersama kami, meminta izin dari perusahaan di
Sunda Kelapa, akhirnya kami diperbolehkan masuk. Kami bertemu turis asing dari
Wallace dan sempat mewawancarai mereka. Dari hasil wawancara singkat kami
diketahui bahwa mereka datang untuk melakukan research. Sebelum meninggalkan kawasan Sunda Kelapa, kami
menyempatkan diri menaiki sampan atau perahu kecil yang membawa kami
berkeliling laut yang ada di sekitar Sunda Kelapa. Sepanjang perjalanan, bapak
tua yang membawa kami menelusuri perairan itu bercerita banyak hal, mulai dari
keadaan Sunda Kelapa zaman
dahulu hingga kejadian Mei 1998 di daerah itu, sampai keadaan Sunda Kelapa saat
Jakarta di pimpin oleh Bapak Ahok. Saat perjalanan pulang ke pelabuhan awal,
Saya menyadari banyak sekali sampah mulai dari kardus minuman sampai hajat
manusia yang ada di permukaan air. Dari kisah sang bapak tua, Saya menyadari
betapa hebatnya perubahan yang alami oleh Sunda Kelapa. Saya menyadari betapa
berharganya rekan atau teman seperjuangan yang pernah bersama-sama dengan kita,
betapa berharganya sebuah pertemanan.
Puas
berkeliling Sunda Kelapa, kami menuju destinasi kedua yaitu Wisata Alam Hutan
Mangrove yang ada di daerah PIK. Lokasi ekowisata ini ada dibelakang Tzuci
Primary School dan sangat luas. Untuk kalian yang suka berfoto, tempat ini
menyediakan spot-spot bagus untuk berfoto.Dengan biaya Rp 25.000,- per orang,
kami berjalan menelusuri hutan tengah kota tersebut. Saya menyadari satu hal
saat berada di tempat ini. Saya merasa miris saat melihat sekeliling saya
terdapat banyak pohon rindang, namun di sela-sela pohon tersebut muncul sebuah
bangunan yang sedang dalam konstruksi. Saya sangat berharap hutan ini tetap
dilestarikan karena sangat sulit untuk menemukan tempat seperti ini di Jakarta
kita yang sudah penuh dengan hiruk pikuk kota metropolitan.
Destinasi
ketiga kami adalah Museum Nasional yang terletak di sekitar Monas, tepatnya di
depan halte Transjakarta Monas. Menginjakkan kaki di pelataran museum, kami di
sambut sebuah monumen atau patung yang sangat artristik. Setelah membayar Rp
2.000,- untuk kami ber 5 dan Rp 5.000,- untuk Pak Jul, kami masuk kedalam
gedung museum dan disambut oleh sekelompok wanita yang sedang berlatih bermain
musik khas Indonesia dengan gamelan, gending, dan sebagainya. Usia mereka
rata-rata memang sudah tampak tua, namun kami menemukan beberapa wanita seusia
kami, alias masih siswi sekolah. Saya juga belajar sesuatu tentang remaja dan
ke Indonesiaan. Bahwa masih ada pelajar yang peduli dan mau belajar serta melestarikan
kebudayaan bangsanya. Di tengah generasi muda yang semakin senang dengan
kebudayaan barat atau asing dibanding kebudayaannya sendiri, ternyata masih ada
yang mau melestarikan. Jujur saya merasa malu saat melihat mereka latihan,
sehingga saya cepat-cepat pergi dari hadapan mereka.
Di
dalam museum terdapat 4 lantai pameran, namun kami hanya menelusuri sampai
lantai 3. Saya mendapati benda-benda bersejarah yang bahkan tidak saya tahu dan
tidak saya dapati di pelajaran sejarah, seperti prasasti-prasasti, kompas masa
lampau, fosil kerangka manusia yang hidup di zaman mesolitikum, dan masih
banyak lagi. Kami berhenti menelusuri dikarenakan hari yang sudah sore dan kami
semua sudah lapar serta lelah. Awalnya kami memutuskan untuk pulang dengan moda
transportasi online, namun setelah di tolak 3 kali dan sempat berargumen dengan
pengendara online tersebut, kami pulang dengan Transjakarta dari halte Monas.
Dari halte Monas, kami menuju halte Senen Sentral, di sinilah Pak Jul dan
Michael memutuskan untuk turun dan pulang dengan bajaj. Tersisa kami ber 4,
kami melanjutkan perjalanan pulang. Setelah mengantarkan Annie dan Desi, saya
dan Sisca menunggu bus di halte Mangga Dua. Di sana kami berbincang dengan
seorang engko-engko tentang kejahatan yang ada di halte Transjakarta. Ia
memperingatkan kami untuk selalu menaruh tas di depan kami dan jangan bermain
handphone di halte, ia membeberkan semua modus kejahatan yang terjadi di halte.
Saya bersyukur karena mendapat informasi yang penting dan berguna untuk saya.
Sepanjang
perjalanan field trip ini, saya mendapatkan banyak sekali ilmu dan pembelajaran
hidup yang tidak saya dapatkan di sekolah.
Saya melihat sisi lain Jakarta yang identik dengan polusi dan macet. Jakarta
itu indah, tinggal bagaimana kita mau melihat sisi lain dari kota ini dan
melestarikannya. (FIELDTRIP
12/05/2017. Wynne G – XMIA – 28)
0 komentar:
Posting Komentar